Mei 2006
Kabut dari gunung masih tersisa separuh.
Hidungku mencium bau dedaunan yang dibakar–daun-daun kering, dan asap dari rokok klobot lelaki-lelaki renta.
Batu, kulit pohon, dipan bambu, angsa-angsa putih, kubangan air, tiap benda di sekitar rumahku punya aromanya yang khas.
Bahkan siput-siput yang liat dan kerikil kecil di dalam kali dekat baris bambu berperdu jauh di sana punya odor pesona mereka.
Aku suka udara hari ini.
Agustus 2006
“Madeira”
Satu, atau barangkali dua tahun yang lalu, sewaktu tangan kecilku menggenggam kayuh di atas sebuah kano biru, kulit wajahku menggelap, seperti warna hazelnut–katanya–di bawah matahari agustus yang terik.
Satu, atau barangkali dua tahun yang lalu, kano biru itu berputar menjelajah danau dimana peri-peri kecil tinggal–katanya–tempat aku berkenalan dengan kupu-kupu putih dan kura-kura kecil yang menyembul di bawah teduh bayangan pohon willow.
Sekarang satu atau dua tahun yang lalu itu jadi sebuah son et lumiere, potongan-potongan gambar dan suara dari masa lalu, seperti kotak musik yang berputar pelan-pelan, menarik jutaan serat emosiku jauh, jauh ke danau itu lagi, jauh… jauh melampaui yang dulu kasat terlihat, jauh melintas hutan di tepi danau yang dulu hijau. Hijau dan penuh peri.
Sekarang hutan itu hitam. Gelap. Penuh lelembut, racun, dan ajal. Rinjani.
Rinjani adalah nama sebuah kesedihan. Dan kenangan itu menghisap dengan aroma rinjani.
Di kota baru ini, aku bertanya, apa lagi yang harus kutahu, apa lagi yang harus aku tahu kalau ternyata aku tidak tahu. Batu-batu, pohon-pohon, alang-alang, semua yang harusnya kutahu punya nama di bumiku sendiri tapi aku tidak tahu. Batu-batu, pohon-pohon…semua yang punya kehidupan tapi aku tidak tahu.
Semua yang tumbuh dan bernafas, tapi aku tidak sadar.
Gitar itu terpetik. Musiknya anggun.
“Suatu hari aku lihat burung beterbangan dari balik kepalamu.
Dan kadang aku tahu kau tahu, aku selalu di sana, memandangmu, mengawasimu, saat aku rasa kau tidak tahu…”
Itu katanya, dulu…
wulan andhung-andhung…
yo ro metuo, saben wulan saben taun
sunare nyondro dhewi
alah mas
kepikir padhang, mendhem gadhung bakalan wurung.
wulan andhung-andhung ono padang ono mendung,
alah mas
atine wong lanang, kang kedulang, keloyong-loyong…
yong-yong kelopo doyong
awakku yo keloyong-loyong
yong-yong kelopo doyong
atiku yo keloyong-loyong
Sekarang hatiku mengaras rindu,
pada cinta yang jauh, pada apa yang mataku tak sanggup melihat,
dan hanya satu yang kupunya,
kenangan.
…jingga-jingga cakrawala langit jendelaku hari ini, burung-burung putih terbang kembali ke bubungannya, melintasi hamparan padi kuning bernas, aku rindu…